Idealnya Yajña Menyangga Alam Semesta
Oleh : Dewa Putu Antara
Gambar di ambil dari : https://hindualukta.blogspot.com/2015/03/makna-dan-filosofi-banten-daksina.html
Bagi umat Hindu, Yajña merupakan sebuah kuajiban, dalam kaitannya
dengan upaya meningkatkan keyakinan terhadap ajaran Hindu agar benar-benar
menjadi pedoman kehidupan yang akan mengantarkan kita kepada tujuan akhir,
yaitu moksa. Untuk itu, Yajña sebagai
salah satu praktik keseharian Hindu menjadi sangat penting untuk dipahami, agar
dalam pelaksanaannya tidak ada unsur keterpaksaan, tidak menjadi beban dan
tidak menyusahkan umat. Yajña harus dilaksanakan dengan tulus iklas tanpa
motivasi yang dikotori oleh nafsu atau muatan-muatan tertentu. Dengan demikian,
setiap Yajña yang dilakukan akan memiliki nilai sekala maupun niskala.
Bisa dinikmati baik secara fisik maupun bisa memberikan kenyamanan secara
kejiwaan. Ini semua apabila disadari akan menjadikan setiap Yajña itu
benar-benar bermakna, karena tidak dilaksanakan dengan latar belakang rasa
takut,tetapi dilatarbelakangi oleh kesadaran.
Beberapa sumber sastra dalam Bhagavadgita
(BG III. 10-15) berikut ini menyatakan bahwa Yajña sesungguhnya merupakan kuajiban bagi umat
Hindu.
Pertama,
Tuhan menciptakan manusia melalui Yajña , dengan melakukan maha Yajña dan mempergunakan dirinya sebagai cikal bakal. Sebagaimana Tuhan mencipta melalui Yajña dan dirinya
dijadikan Yajña , demikian pula manusia harus berYajña , dilandasi oleh
keinginannya sendiri dengan mengorbankan dirinya.
Kedua,
dengan melaksanakan Yajña , maka para dewa memberikan kesenangan, namun mereka
yang sudah mendapat kesenangan tidak melakukan Yajña , maka sesungguhnya adalah
pencuri. Oleh karena itu, ia yang memakan sisa Yajña (baca: setelah
melaksanakan Yajña ) akan terlepas dari segala dosa.
Ketiga,
mahluk hidup ada karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan
karena Yajña , adanya Yajña karena karma; dan adanya karma karena Brahman,
karena itu Brahman melingkupi semuanya, dan selalu berkisar di sekitar
persembahan. Artinya, di mana ada persembahan, di sana selalu ada Brahman.
Inilah yang disebut dengan cakra Yajña atau
putaran/siklus Yajña yang tak pernah berakhir.
Untuk mendukung pelaksanaan Yajña , maka
secara garis besar, Manawa Dharmasastra Bab VII.10 mengatur tentang pedoman
umum dalam melaksanakan upacara Yajña yang disebut dengan dharma sidhyartha; yang terdiri dari Iksa (hakekat dan tujuan),
Shakti (daya/kemampuan), Desa (wilayah/tempat), Kala (saat yang tepat), dan
Tattwa (sastra/bhisama/kesatuan tafsir).
Pertama,
Iksa artinya memahami hakekat dan makna serta tujuan dari pelaksanaan Yajña . Kedua, Shakti atinya memahami kemampuan
diri dalam melaksanakan Yajña , termasuk kemampuan memahami tentang Yajña dan
juga dana yang menunjang Yajña . Ketiga,
Desa artinya menyesuaikan dengan kebiasaan di wilayah tempat dilaksanakannya Yajña
. Keempat, Kala artinya
mempertimbangkan waktu pelaksanakan Yajña dengan kondisi setempat. Kelima, tattwa artinya pelaksanaan Yajña
sesuai dengan sastra sebagai acuan.
Selain itu ada beberapa pertimbangan
cerdas dalam melaksanakan Yajña dalam kaitannya dengan era kekinian, yaitu: sruti (catur Veda), smerti (tafsir/dharma sastra), sila
(tingkah laku), sadacara
(kebiasaan/dresta), atmanastuti
(kelegaan/kepuasan diri). Semua ini menjadi pedoman, semuanya bisa diterima
sebagai bagian dari Veda-Veda lokal, yang menunjang pelaksanaan Yajña .
Berbagai pedoman dan pertimbangan
tersebut, dan pemahaman bahwa sebuah Yajña sebagai sebuah kuajiban dan
dilaksanakan tanpa paksaan dan rasa takut, disertai tulus iklas, tanpa dikotori
oleh tujuan-tujuan tertentu; maka sesungguhnya ini mencirikan bahwa Yajña harus
memberikan rasa nyaman, tidak menyusahkan dan tanpa beban serta tidak
menakutkan. Bahkan, lebih dari itu Yajña harus memberikan kesan dan terbukti
mampu meningkatkan keyakinan dan rasa bakti, serta kesadaran bahwa Hindu
mengalirkan ajaran-ajaran tentang hidup
dan kehidupan yang ideal, dinamis dan universal.
Namun, dalam mengantisipasi semua
keinginan dan harapan tadi, umat Hindu diingatkan untuk tidak membabi buta
dalam memahami dan melaksanakan Yajña . Hal ini tergambar dalam (BG IX.25) yang
berbunyi, “Yang memuja dewata akan pergi kepada alam dewa, yang memuja leluhur
akan menuju alam leluhur, yang memuja roh alam akan pergi menuju roh alam, yang
memujaKu akan sampai kepadaKu.”
Memahami sloka ini hari ekstra hati-hati.
Karena sloka ini sesungguhnya peringatan Krishna kepada manusia, melalui
Arjuna; bahwa apabila kita terpaku kepada Yajña yang ditujukan kepada para dewa
(dewa Yajña ) secara berlebihan akan
memahami pengetahuan rohani yang hanya bisa mengantarkan kita sampai di alam
dewa-dewa, dan terhenti di sana; tidak pernah mencapai tujuan ahkir, yaitu
Brahman. Demikian pula, apabila kita merasakan nikmat dan nyaman karena
melakukan Yajña untuk leluhur saja (pitra
Yajña ), lalu kita terhenti, maka kita juga tidak akan pernah mencapai
tujuan akhir. Selanjutnya, apabila kita melakukan Yajña lebih memberatkan
kepada alam (bhuta Yajña ), maka kita
akan terperangkap oleh kenyataan semu (maya)
yang diciptakan oleh alam, sehingga Brahman akan semakin jauh. Namun, apabila
semua Yajña tadi (dewa, leluhur dam alam) diakhiri dengan Yajña untuk memuja
Brahman, maka lengkaplah sudah Yajña yang dilakukan dan akhirnya bermuara
kepada alam Brahman.
Kesimpulannya, diperlukan keseimbangan
dalam melaksanakan Yajña , baik itu terkait dengan Yajña utama kepada Brahman, para
dewa, para leluhur, bahkan untuk alam; dengan memperhatikan pedoman-pedoman
sastra, tanpa harus jor-joran. Apalagi, kalau sebuah Yajña sudah dicemari
dengan nilai-nilai bisnis, maka tujuan dan harapan Yajña itu semakin
tertinggal, dan semuanya akan sia-sia. Tanpa dikotori oleh insting bisnis yang
muncul karena keinginan yang didasari keserakahan, barulah sebuah Yajña berjalan
mulus dan memberikan manfaat.
Lebih jauh, harus dipahami bahwa Yajña tidak
terbatas hanya upacara saja; tetapi juga banyak lagi bentuk-bentuk aplikasi Yajña
yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Terpaku
hanya kepada upacara saja, menghabiskan dana besar, waktu dan energi hanya
untuk upacara, tetapi mengabaikan yang lain, berarti kita sudah terperangkap
dalam ketidakseimbangan. Dan jeratan ini apabila tidak segera dilepas, maka
kita akan semakin tenggelam dalam kegelapan jiwa. Contohnya, keberanian kita
untuk lebih menyederhanakan pelaksanaan upacara, dan menyisihkan dana, waktu,
energi untuk Yajña yang sangat relevan dalam era kekinian, seperti meningkatkan
kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, dengan mendirikan sekolah
misalnya. Atau mendirikan rumah sakit, rumah singgah anak-anak terlantar, rumah
singgah untuk para lanjut usia. Bahkan membangun pemberdayaan ekonomi umat,
juga merupakan Yajña yang bernilai tinggi. Apalagi, kalau berani membangun
sarana atau prasarana untuk pelayanan atau seva.
Ini sesungguhnya yang sangat dibutuhkan masyarakat Hindu, dan merupakan Yajña tertinggi
pada jaman Kali. Melayani sesama umat, ibaratnya melayani Tuhan sendiri. Manava
Seva, Madhava Seva. Serve to human is
serve to God.
Bahkan Bhagavadgita IX.26 dengan tegas
menyatakan bahwa persembahan kepada Tuhan, meskipun hanya berupa selembar daun,
bunga, buah dan seteguk air namun kalau dipersembahkan dengan tulus iklas,
penuh kepasrahan dan kasih, akan menjadi sebuah persembahan dari bakta yang
berhati suci.
Sloka ini menggambarkan betapa Tuhan
tidak pernah ingin menyusahkan umatnya, dengan memberikan sebuah makna dari kesederhanaan,
menggambarkan unsur-unsur pokok dari sebuah persembahan. Dan juga, merupakan
penegasan bahwa Tuhan tidak memerlukan apapun, namun tentu bisa diartikan, bahwa
benda-benda ini merupakan bahan dasar yang masih bisa diolah menjadi karya patra atau kriya tangan yang diwarnai dengan estetika. Namun, tetap
menggambarkan sebuah kesederhanaan, sebagai landasan dasar, tetapi tetap
memiliki nilai-nilai yang suci. Dengan kesucian yang memancar dari ketulusan,
maka persembahan ini akan menjadi Yajña yang satvika.
Nah,
Yajña untuk Tuhan yang begitu sederhananya, tetapi dilandasi dengan ketulusan
yang ternyata menjadi sebuah kekuatan yang menyucikan, ternyata mampu menjadi
sebuah Yajña satvika. Apakah
sedemikian mudah dan sederhana? Lalu, apa yang berada dibalik ketulusan tadi
sehingga benar-benar memiliki nilai tinggi. Ketulusan berarti mampu mengalahkan
ego (ahamkara), menyingkirkan
kemarahan (krodha), mengesampingkan keserakahan
(loba) dan nafsu (kama) yang berlebihan. Jiwa-jiwa penuh
ketulusan seperti inilah yang mencirikan spiritual yang sudah berkembang.
Jadi, apabila kita mampu
menumbuhkembangkan spiritualitas diri, yang tercermin dalam ketulusan, maka Yajña satvika akan lebih mudah dicapai,
walaupun hanya dengan unsur-unsur pokok, yang digunakan dalam sebuah rangkaian
upacara sederhana. Artinya, di luar Yajña untuk Tuhan, upacara-upacara dengan
biaya tinggi, menghabiskan waktu dan energi yang belum jelas hasilnya; bisa
diseimbangkan dengan syarat tumbuhnya spiritualitas. Maka tugas para tokoh umat
adalah memberikan motivasi dan pemahaman kepada umat, untuk menumbuhkan
spiritualitas itu sendiri, sehingga nantinya akan ada perpaduan antara Yajña melalui
ritual-ritual dengan unsur-unsur pokok serta laku spiritual.
Yajña merupakan kuajiban bagi manusia
menurut ajaran Hindu, dan ini tak terhindarkan. Pada awal tulisan ini sudah
ditegaskan bahwa Tuhan mencipta melalui Yajña dan menjadikan dirinya sebagai
cikal bakal. Sehingga, kalau manusia ingin melestarikan dan tetap menjaga agar
alam semesta ini memberikan kehidupan kepada manusia, maka Yajña dengan
berbagai ragamnya merupakan penyangga utama alam semesta. Dan, manusia tidak
ada pilihan kecuali melaksanakan Yajña .
Sekecil apapun sebuah Yajña melalui
upacara, maka kualifikasinya tetap diperlukan, untuk lebih menjamin lancarnya
sebuah Yajña . Untuk itu, Bhagavadgita XVII. 11-13 memberikan gambaran berikut.
Menurut petunjuk kitab suci, Yajña yang
dilakukan tanpa mengharapkan pahala dan percaya serta yakin bahwa Yajña ini
adalah sebuah kuajiban, maka ini termasuk Yajña
satvika. Bahwa Yajña memang
merupakan tugas manusia, tidak untuk kepentingan diri pribadi, kelompok; tetapi
untuk kebaikan alam semesta (lokasamgraha).
Maka, sekecil apapun sebuah Yajña , tetapi selama itu untuk orang banyak, atau
untuk alam semesta, maka itulah Yajña yang satvika, yang mulus sesuai hakekat
dan tujuan Yajña itu sendiri, sebagai penyangga alam semesta.
Tetapi, Yajña yang dilakukan dengan
mengharapkan pahala, dan semata-mata untuk kemegahan dengan biaya besar serta
jor-joran (karena gengsi dan popularitas, takut malu, untuk menghindari omongan
orang banyak), maka Yajña tersebut adalah Yajña
rajasika. Dalam Yajña jenis ini, terdapat unsur-unsur keinginanm ada
muatan-muatan pribadi, merasa lebih dari orang lain, supaya dihargai dan
dihormati; lalu pada akhirnya menumbuhkan rasa angkuh. Tingkat rajas dari Yajña
jenis ini semakin tampak jelas, apabila kemudian muncul dengan warna bisnis
yang kental. Apabila Yajña sudah dicemari dengan bisnis, maka Yajña seperti ini
sudah melintas jauh dari hakekat dan tujuan. Akhirnya, dengan kata lain, hanya
meninggalkan limbah-limbah karma buruk kepada semua yang terlibat dalam bisnis
ini, termasuk Tri Manggalaning Karya, yaitu Pemuput, Nini Widya dan juga Sang
Yajamana. Hukumnya, jelas alam kesengsaraan akan menanti, tentu nanti setelah
mati. Mereka-mereka ini, bukan tidak mungkin rohnya kelak akan terlempar ke
alam bawah, seperti menjadi hantu air atau tonya.
Bayangkan kalau, seorang Pemuput atau Sarati Banten kemudian menjadi tonya (hantu air). Rohnya, jongkok di
pinggir Kali, sambil menyesali nasib. Sungguh menyedihkan.
Lalu
lebih parahnya, dikatakan pula, bahwa Yajña yang dilakukan tanpa aturan dan
tidak mengikuti landasan yang jelas, juga tanpa ada sekedar jamuan, tanpa
mantra, dan tanpa punia serta tanpa keyakinan; maka ini adalah Yajña tamasika. Tidak ada kepedulian,
masa bodoh, serta apatis. Biasanya, orang-orang seperti ini sebenarnya
melakukan Yajña karena terpaksa, mungkin karena tekanan lingkungan dan rasa
kehinduannya sudah sirna. Mungkin juga karena tadinya jenuh dengan berbagai Yajña
yang hanya menghabiskan dana besar, waktu banyak dan energi; tetapi tidak
dirasakannya bermanfaat. Sehingga, Yajña yang dilakukannya kemudian hanya
kedok, hanya karena masih berpredikat sebagai umat Hindu. Walaupun
sesungguhnya, komitmen dan loyalitasnya terhadap Hindu sudah hilang.
Selama Yajña itu memberikan rasa nyaman
dan aman, tidak memberatkan, tidak menjadikan beban, tidak menakutkan, tanpa
keterpaksaan; namun semuanya muncul dari kesadaran nurani yang paling dalam;
dengan mengacu kepada unsur-unsur pokok dalam Yajña , seperti yang disebutkan
dalam Bhagavadgita IX.26 yang mengandung makna kesederhanaan; dipadukan dengan
laku spiritual, maka tidak akan pernah ada umat Hindu yng meninggalkan
agamanya, berpaling kepada keyakinan lain. Inilah sesungguhnya esensi dari
sebuah ajaran agama yag mengayomi umatnya. Tetapi apabila ada agama yang
cenderung hanya membebani umatnya, maka cepat atau lambat agama itu akan
ditinggalkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Jean Boudrillard dalam Storey, John. 2004. Teori Budaya
dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam
Nala, Ngurah dan Adia Wiratmadja. 1993. Murdha
Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra.
Ranganathaananda, Swami. 2012. Pesan Universal BHAGAWAD GITA. Media Hindu.Jakarta
Suamba, I.B (ed.). 1996. Yajña Basis Kehidupan. Denpasar:
Warta Hindu Dharma.
Panitya Tujuh Belas. 1986. Pedoman Pelaksanaan
Agama Hindu Dalam Masa Pembangunan. Jakarta: Yayasan Merta Sari.
Pendit, Nyoman S.
2002. Bhagavadgita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
No comments:
Post a Comment