Wednesday, June 20, 2018

Idealnya Yajña Menyangga Alam Semesta


Idealnya Yajña  Menyangga Alam Semesta

Oleh : Dewa Putu Antara



Gambar di ambil dari : https://hindualukta.blogspot.com/2015/03/makna-dan-filosofi-banten-daksina.html

    

      Bagi umat Hindu, Yajña  merupakan sebuah kuajiban, dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan keyakinan terhadap ajaran Hindu agar benar-benar menjadi pedoman kehidupan yang akan mengantarkan kita kepada tujuan akhir, yaitu moksa. Untuk itu, Yajña  sebagai salah satu praktik keseharian Hindu menjadi sangat penting untuk dipahami, agar dalam pelaksanaannya tidak ada unsur keterpaksaan, tidak menjadi beban dan tidak menyusahkan umat. Yajña harus dilaksanakan dengan tulus iklas tanpa motivasi yang dikotori oleh nafsu atau muatan-muatan tertentu. Dengan demikian, setiap Yajña yang dilakukan akan memiliki nilai sekala maupun niskala. Bisa dinikmati baik secara fisik maupun bisa memberikan kenyamanan secara kejiwaan. Ini semua apabila disadari akan menjadikan setiap Yajña itu benar-benar bermakna, karena tidak dilaksanakan dengan latar belakang rasa takut,tetapi dilatarbelakangi oleh kesadaran. 

      Beberapa sumber sastra dalam Bhagavadgita (BG III. 10-15) berikut ini menyatakan bahwa Yajña  sesungguhnya merupakan kuajiban bagi umat Hindu.

      Pertama, Tuhan menciptakan manusia melalui Yajña , dengan melakukan maha Yajña dan mempergunakan dirinya sebagai cikal bakal. Sebagaimana Tuhan mencipta melalui Yajña dan dirinya dijadikan Yajña , demikian pula manusia harus berYajña , dilandasi oleh keinginannya sendiri dengan mengorbankan dirinya.

      Kedua, dengan melaksanakan Yajña , maka para dewa memberikan kesenangan, namun mereka yang sudah mendapat kesenangan tidak melakukan Yajña , maka sesungguhnya adalah pencuri. Oleh karena itu, ia yang memakan sisa Yajña (baca: setelah melaksanakan Yajña ) akan terlepas dari segala dosa. 
      Ketiga, mahluk hidup ada karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena Yajña , adanya Yajña karena karma; dan adanya karma karena Brahman, karena itu Brahman melingkupi semuanya, dan selalu berkisar di sekitar persembahan. Artinya, di mana ada persembahan, di sana selalu ada Brahman. Inilah yang disebut dengan cakra Yajña atau putaran/siklus Yajña yang tak pernah berakhir.

      Untuk mendukung pelaksanaan Yajña , maka secara garis besar, Manawa Dharmasastra Bab VII.10 mengatur tentang pedoman umum dalam melaksanakan upacara Yajña yang disebut dengan dharma sidhyartha; yang terdiri dari Iksa (hakekat dan tujuan), Shakti (daya/kemampuan), Desa (wilayah/tempat), Kala (saat yang tepat), dan Tattwa (sastra/bhisama/kesatuan tafsir).

      Pertama, Iksa artinya memahami hakekat dan makna serta tujuan dari pelaksanaan Yajña . Kedua, Shakti atinya memahami kemampuan diri dalam melaksanakan Yajña , termasuk kemampuan memahami tentang Yajña dan juga dana yang menunjang Yajña . Ketiga, Desa artinya menyesuaikan dengan kebiasaan di wilayah tempat dilaksanakannya Yajña . Keempat, Kala artinya mempertimbangkan waktu pelaksanakan Yajña dengan kondisi setempat. Kelima, tattwa artinya pelaksanaan Yajña sesuai dengan sastra sebagai acuan.

      Selain itu ada beberapa pertimbangan cerdas dalam melaksanakan Yajña dalam kaitannya dengan era kekinian, yaitu: sruti (catur Veda), smerti (tafsir/dharma sastra), sila (tingkah laku), sadacara (kebiasaan/dresta), atmanastuti (kelegaan/kepuasan diri). Semua ini menjadi pedoman, semuanya bisa diterima sebagai bagian dari Veda-Veda lokal, yang menunjang pelaksanaan Yajña .

      Berbagai pedoman dan pertimbangan tersebut, dan pemahaman bahwa sebuah Yajña sebagai sebuah kuajiban dan dilaksanakan tanpa paksaan dan rasa takut, disertai tulus iklas, tanpa dikotori oleh tujuan-tujuan tertentu; maka sesungguhnya ini mencirikan bahwa Yajña harus memberikan rasa nyaman, tidak menyusahkan dan tanpa beban serta tidak menakutkan. Bahkan, lebih dari itu Yajña harus memberikan kesan dan terbukti mampu meningkatkan keyakinan dan rasa bakti, serta kesadaran bahwa Hindu mengalirkan ajaran-ajaran  tentang hidup dan kehidupan yang ideal, dinamis dan universal.

      Namun, dalam mengantisipasi semua keinginan dan harapan tadi, umat Hindu diingatkan untuk tidak membabi buta dalam memahami dan melaksanakan Yajña . Hal ini tergambar dalam (BG IX.25) yang berbunyi, “Yang memuja dewata akan pergi kepada alam dewa, yang memuja leluhur akan menuju alam leluhur, yang memuja roh alam akan pergi menuju roh alam, yang memujaKu akan sampai kepadaKu.”

      Memahami sloka ini hari ekstra hati-hati. Karena sloka ini sesungguhnya peringatan Krishna kepada manusia, melalui Arjuna; bahwa apabila kita terpaku kepada Yajña yang ditujukan kepada para dewa (dewa Yajña ) secara berlebihan akan memahami pengetahuan rohani yang hanya bisa mengantarkan kita sampai di alam dewa-dewa, dan terhenti di sana; tidak pernah mencapai tujuan ahkir, yaitu Brahman. Demikian pula, apabila kita merasakan nikmat dan nyaman karena melakukan Yajña untuk leluhur saja (pitra Yajña ), lalu kita terhenti, maka kita juga tidak akan pernah mencapai tujuan akhir. Selanjutnya, apabila kita melakukan Yajña lebih memberatkan kepada alam (bhuta Yajña ), maka kita akan terperangkap oleh kenyataan semu (maya) yang diciptakan oleh alam, sehingga Brahman akan semakin jauh. Namun, apabila semua Yajña tadi (dewa, leluhur dam alam) diakhiri dengan Yajña untuk memuja Brahman, maka lengkaplah sudah Yajña yang dilakukan dan akhirnya bermuara kepada alam Brahman.   
      
      Kesimpulannya, diperlukan keseimbangan dalam melaksanakan Yajña , baik itu terkait dengan Yajña utama kepada Brahman, para dewa, para leluhur, bahkan untuk alam; dengan memperhatikan pedoman-pedoman sastra, tanpa harus jor-joran. Apalagi, kalau sebuah Yajña sudah dicemari dengan nilai-nilai bisnis, maka tujuan dan harapan Yajña itu semakin tertinggal, dan semuanya akan sia-sia. Tanpa dikotori oleh insting bisnis yang muncul karena keinginan yang didasari keserakahan, barulah sebuah Yajña berjalan mulus dan memberikan manfaat.

      Lebih jauh, harus dipahami bahwa Yajña tidak terbatas hanya upacara saja; tetapi juga banyak lagi bentuk-bentuk aplikasi Yajña yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Terpaku hanya kepada upacara saja, menghabiskan dana besar, waktu dan energi hanya untuk upacara, tetapi mengabaikan yang lain, berarti kita sudah terperangkap dalam ketidakseimbangan. Dan jeratan ini apabila tidak segera dilepas, maka kita akan semakin tenggelam dalam kegelapan jiwa. Contohnya, keberanian kita untuk lebih menyederhanakan pelaksanaan upacara, dan menyisihkan dana, waktu, energi untuk Yajña yang sangat relevan dalam era kekinian, seperti meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, dengan mendirikan sekolah misalnya. Atau mendirikan rumah sakit, rumah singgah anak-anak terlantar, rumah singgah untuk para lanjut usia. Bahkan membangun pemberdayaan ekonomi umat, juga merupakan Yajña yang bernilai tinggi. Apalagi, kalau berani membangun sarana atau prasarana untuk pelayanan atau seva. Ini sesungguhnya yang sangat dibutuhkan masyarakat Hindu, dan merupakan Yajña tertinggi pada jaman Kali. Melayani sesama umat, ibaratnya melayani Tuhan sendiri. Manava Seva, Madhava Seva. Serve to human is serve to God.

      Bahkan Bhagavadgita IX.26 dengan tegas menyatakan bahwa persembahan kepada Tuhan, meskipun hanya berupa selembar daun, bunga, buah dan seteguk air namun kalau dipersembahkan dengan tulus iklas, penuh kepasrahan dan kasih, akan menjadi sebuah persembahan dari bakta yang berhati suci.

      Sloka ini menggambarkan betapa Tuhan tidak pernah ingin menyusahkan umatnya, dengan memberikan sebuah makna dari kesederhanaan, menggambarkan unsur-unsur pokok dari sebuah persembahan. Dan juga, merupakan penegasan bahwa Tuhan tidak memerlukan apapun, namun tentu bisa diartikan, bahwa benda-benda ini merupakan bahan dasar yang masih bisa diolah menjadi karya patra atau kriya tangan yang diwarnai dengan estetika. Namun, tetap menggambarkan sebuah kesederhanaan, sebagai landasan dasar, tetapi tetap memiliki nilai-nilai yang suci. Dengan kesucian yang memancar dari ketulusan, maka persembahan ini akan menjadi Yajña yang satvika.

       Nah, Yajña untuk Tuhan yang begitu sederhananya, tetapi dilandasi dengan ketulusan yang ternyata menjadi sebuah kekuatan yang menyucikan, ternyata mampu menjadi sebuah Yajña satvika. Apakah sedemikian mudah dan sederhana? Lalu, apa yang berada dibalik ketulusan tadi sehingga benar-benar memiliki nilai tinggi. Ketulusan berarti mampu mengalahkan ego (ahamkara), menyingkirkan kemarahan (krodha), mengesampingkan keserakahan (loba) dan nafsu (kama) yang berlebihan. Jiwa-jiwa penuh ketulusan seperti inilah yang mencirikan spiritual yang sudah berkembang.

      Jadi, apabila kita mampu menumbuhkembangkan spiritualitas diri, yang tercermin dalam ketulusan, maka Yajña satvika akan lebih mudah dicapai, walaupun hanya dengan unsur-unsur pokok, yang digunakan dalam sebuah rangkaian upacara sederhana. Artinya, di luar Yajña untuk Tuhan, upacara-upacara dengan biaya tinggi, menghabiskan waktu dan energi yang belum jelas hasilnya; bisa diseimbangkan dengan syarat tumbuhnya spiritualitas. Maka tugas para tokoh umat adalah memberikan motivasi dan pemahaman kepada umat, untuk menumbuhkan spiritualitas itu sendiri, sehingga nantinya akan ada perpaduan antara Yajña melalui ritual-ritual dengan unsur-unsur pokok serta laku spiritual.  

      Yajña merupakan kuajiban bagi manusia menurut ajaran Hindu, dan ini tak terhindarkan. Pada awal tulisan ini sudah ditegaskan bahwa Tuhan mencipta melalui Yajña dan menjadikan dirinya sebagai cikal bakal. Sehingga, kalau manusia ingin melestarikan dan tetap menjaga agar alam semesta ini memberikan kehidupan kepada manusia, maka Yajña dengan berbagai ragamnya merupakan penyangga utama alam semesta. Dan, manusia tidak ada pilihan kecuali melaksanakan Yajña .

      Sekecil apapun sebuah Yajña melalui upacara, maka kualifikasinya tetap diperlukan, untuk lebih menjamin lancarnya sebuah Yajña . Untuk itu, Bhagavadgita XVII. 11-13 memberikan gambaran berikut.

      Menurut petunjuk kitab suci, Yajña yang dilakukan tanpa mengharapkan pahala dan percaya serta yakin bahwa Yajña ini adalah sebuah kuajiban, maka ini termasuk Yajña satvika.  Bahwa Yajña memang merupakan tugas manusia, tidak untuk kepentingan diri pribadi, kelompok; tetapi untuk kebaikan alam semesta (lokasamgraha). Maka, sekecil apapun sebuah Yajña , tetapi selama itu untuk orang banyak, atau untuk alam semesta, maka itulah Yajña yang satvika, yang mulus sesuai hakekat dan tujuan Yajña itu sendiri, sebagai penyangga alam semesta. 

      Tetapi, Yajña yang dilakukan dengan mengharapkan pahala, dan semata-mata untuk kemegahan dengan biaya besar serta jor-joran (karena gengsi dan popularitas, takut malu, untuk menghindari omongan orang banyak), maka Yajña tersebut adalah Yajña rajasika. Dalam Yajña jenis ini, terdapat unsur-unsur keinginanm ada muatan-muatan pribadi, merasa lebih dari orang lain, supaya dihargai dan dihormati; lalu pada akhirnya menumbuhkan rasa angkuh. Tingkat rajas dari Yajña jenis ini semakin tampak jelas, apabila kemudian muncul dengan warna bisnis yang kental. Apabila Yajña sudah dicemari dengan bisnis, maka Yajña seperti ini sudah melintas jauh dari hakekat dan tujuan. Akhirnya, dengan kata lain, hanya meninggalkan limbah-limbah karma buruk kepada semua yang terlibat dalam bisnis ini, termasuk Tri Manggalaning Karya, yaitu Pemuput, Nini Widya dan juga Sang Yajamana. Hukumnya, jelas alam kesengsaraan akan menanti, tentu nanti setelah mati. Mereka-mereka ini, bukan tidak mungkin rohnya kelak akan terlempar ke alam bawah, seperti menjadi hantu air atau tonya. Bayangkan kalau, seorang Pemuput atau Sarati Banten kemudian menjadi tonya (hantu air). Rohnya, jongkok di pinggir Kali, sambil menyesali nasib. Sungguh menyedihkan.

       Lalu lebih parahnya, dikatakan pula, bahwa Yajña yang dilakukan tanpa aturan dan tidak mengikuti landasan yang jelas, juga tanpa ada sekedar jamuan, tanpa mantra, dan tanpa punia serta tanpa keyakinan; maka ini adalah Yajña tamasika. Tidak ada kepedulian, masa bodoh, serta apatis. Biasanya, orang-orang seperti ini sebenarnya melakukan Yajña karena terpaksa, mungkin karena tekanan lingkungan dan rasa kehinduannya sudah sirna. Mungkin juga karena tadinya jenuh dengan berbagai Yajña yang hanya menghabiskan dana besar, waktu banyak dan energi; tetapi tidak dirasakannya bermanfaat. Sehingga, Yajña yang dilakukannya kemudian hanya kedok, hanya karena masih berpredikat sebagai umat Hindu. Walaupun sesungguhnya, komitmen dan loyalitasnya terhadap Hindu sudah hilang.

      Selama Yajña itu memberikan rasa nyaman dan aman, tidak memberatkan, tidak menjadikan beban, tidak menakutkan, tanpa keterpaksaan; namun semuanya muncul dari kesadaran nurani yang paling dalam; dengan mengacu kepada unsur-unsur pokok dalam Yajña , seperti yang disebutkan dalam Bhagavadgita IX.26 yang mengandung makna kesederhanaan; dipadukan dengan laku spiritual, maka tidak akan pernah ada umat Hindu yng meninggalkan agamanya, berpaling kepada keyakinan lain. Inilah sesungguhnya esensi dari sebuah ajaran agama yag mengayomi umatnya. Tetapi apabila ada agama yang cenderung hanya membebani umatnya, maka cepat atau lambat agama itu akan ditinggalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Jean Boudrillard dalam Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam
Nala, Ngurah dan Adia Wiratmadja. 1993. Murdha Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra.
Ranganathaananda, Swami. 2012. Pesan Universal BHAGAWAD GITA. Media Hindu.Jakarta
Suamba, I.B (ed.). 1996. Yajña Basis Kehidupan. Denpasar: Warta Hindu Dharma.
Panitya Tujuh Belas. 1986. Pedoman Pelaksanaan Agama Hindu Dalam Masa Pembangunan. Jakarta: Yayasan Merta Sari.
Pendit, Nyoman S. 2002. Bhagavadgita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


No comments:

Post a Comment