Wednesday, June 20, 2018

Kerukunan Hidup Beragama Sebagai Aplikasi Dharma Agama dan Dharma Negara


Kerukunan Hidup Beragama
Sebagai Aplikasi Dharma Agama dan Dharma Negara

Oleh : Dewa Putu Antara


Gambar diambil : http://palembang.tribunnews.com/2018/05/25/ramadhan-dan-kerukunan-umat

Om Swastyastu,

       Kerukunan hidup beragama adalah kondisi hidup dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram dan sejahtera, saling menghormati dan menghargai sesama pemeluk agama, baik sebagai individu, maupun sebagai warga masyarakat yang berbudi pekerti luhur; yang kesemuanya ini merupakan cerminan pengamalan ajaran agama dan Pancasila.  Kerukunan yang dimaksud terdiri dari tiga tahap kerukunan, yaitu intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. 

      Dengan mengacu kepada konsep Dharma Agama sebagai landasan, maka khusus bagi umat Hindu wajib memberikan kontribusi untuk mensukseskan pembangunan nasional, dengan menjadi warga Negara yang taat kepada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah yang mewakili Negara. Dengan demikian, maka sebagai warga Negara yang beragama Hindu, berarti telah melaksanakan Dharma Negara. Dan sesungguhnya di negeri ini, Dharma Agama dan Dharma Negara sudah dirumuskan dengan cerdas dan teraplikasi dalam sebuah kerukunan hidup inter dan antar umat beragama dan dengan pemerintah. Rumusan yang merupakan kristalisasi dari ajaran-ajaran yang termaktub dalam Kitab Suci Weda, yang juga merupakan pedoman hidup bangsa serta merupakan salah satu dari empat pilar bangsa, yaitu Pancasila.

        Indonesia adalah sebuah bangsa yang heterogen dan memiliki kehidupan dengan kompleksitas yang tinggi, baik dalam khazanah hidup individu dan sosial maupun perbedaan budaya yang menuntut diwujudkannya keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam sinergi, baik suku, agama, ras dan antar golongan.  Hal ini telah disadari oleh masyarakat bangsa ini, sejak ditabuh Gong Gentanya Pura Kencana Majapahit oleh seorang Rakawi Mpu Tantular, menyuratkan pikirannya ke dalam kitab Sutasoma yang berbunyi “Bhineka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrawa,” yang artinya, “Meskipun itu berbeda, tetapi hakikatnya  satu tidak ada kebenaran yang ganda.” Bahkan jauh sebelum itu, di Bali Mpu Kuturan telah juga menyatakan, “bina ika tunggal ika,” dalam mempersatukan sekte-sekte di Bali pada jamannya, di Pura Samuan Tiga. 

        Secara internal, umat Hindu diwajibkan untuk mempraktikkan Dharma Agama dengan benar sesuai sastra suci Weda.  Para penganut Hindu diharapkan berjalan beriringan, serasi, seimbang dengan umat agama lain dengan toleransi yang sungguh-sungguh, dan melaksanakan Dharma Negara serta tidak pernah mempertentangkan antara pelaksanaan Dharma Agama dan Dharma Negara. Dengan demikian, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan ber Negara, akan berkembang semangat nasional untuk mendorong terwujudnya kerukunan.
      Bagi umat Hindu, kerukunan merupakan sesuatu yang bersifat mutlak dalam kehidupan ini. Seperti yang secara tegas dinyatakan dalam Kitab Chandogya Upanisad VI.8.7 “Tat Tvam Asi,” yang berarti Itu adalah Engkau, Dia adalah Kamu, Kamu adalah Aku.  Kamu dan Aku disini yang dimaksud adalah atman. Yang sama disini adalah atman. Sama-sama atman. Sloka ini mengandung makna yang sangat dalam, artinya setiap manusia adalah saudara dari manusia lainnya, bahwa semua mahkluk adalah ciptaan-Nya.

        Secara eksternal, ajaran Weda memperkuat aktualisasi Dharma Negara yang telah memberikan warna tersendiri dalam pembangunan nasional khususnya dalam pembangunan umat beragama. Hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan yang dijunjung tinggi masyarakat.

      Berikut ini dikutipkan mantram-mantam Weda yang menjadi spirit dalam membangun manusia seutuhnya dengan kerukunan hidup beragama sebagai aplikasi dari Dharma Agama yang beriringan dengan Dharma Negara. Ini terlihat secara terstruktur dalam salah satu pilar Bangsa sebagai ideologi dan pedoman hidup bangsa, yaitu Pancasila.

      Pertama, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. “Tuhan Yang Maha Esa para arif bijaksana menyebut-Nya dengan banyak gelar,”(Rg. Veda I.164.46).  “Tuhan adalah satu-satunya tujuan yang harus disembah,” (Rg. Veda VIII.50.9).  Mantram ini menjelaskan bahwa agama Hindu tidak mempunyai kesulitan teologis didalam menerima derajat-derajat kebenaran di dalam agama lain.  Sebagaimana umat Hindu sendiri memuja Ganesa, dan dipandang benar oleh yang memuja Visnu ataupun Siva, orang lain yang menyembah Jesus dan Allah dll juga tidak dipermasalahkan. Dalam praktik, agama menjadi  rambu-rambu yang mengingatkan kita pada perbuatan benar atau salah, tidak gampang terpesona dalam memperoleh kekuasaan yang salah, punya sensitivitas pada ketidakadilan. Intinya, agama bisa memberikan tuntunan hidup yang bermakna sekaligus kedamaian bagi penganutnya.

      Kedua, Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. “Hendaknya semua mahkluk melihat kami, hendaknya kami melihat semua mahkluk, hendaknya kami mengenal semua mahkluk sebagai saudara dan sahabat,” (Yajur Veda XXXVI.18).  “ Ketahuilah ini semua sebagai mahkluk Tuhan, bebaslah dan berbahagialah, jangan menginginkan milik orang lain, lakukanlah karma (perbuatan suci) itu disini juga,” (Yajur Veda XI.1.2). Mantram ini dapat dipahami, bahwa toleransi, saling harga menghargai, menghormati hak asasi manusia, tanpa kekerasan, (ahimsa) perlu fokus pada hidup sosial, maka diperlukan hati yang damai sebagai kunci pertama perdamaian dunia.  Jika hati setiap orang itu damai, tidak ada rasa benci dan dendam, sebaliknya ada tenggang rasa, maka perilaku sosialnya juga damai.  Di era globalisasi ini bentuk pengamalan Dharma dapat berarti mengembangkan kasih sayang dan memajukan persaudaraan (kemanusiaan yang sejati) untuk memeperkokoh persatuan dan kesatuan antar bangsa-bangsa (vasudhaiva kutumbakam).

      Ketiga, Sila Persatuan Indonesia. “Semoga Bumi yang memberi tempat kepada penduduk yang berbicara berbeda-beda bahasa, adat-istiadat, agama menurut tempat tinggalnya akan memperkaya kami dengan pahala berlipat ganda, laksana lembu yang menyusui anaknya dengan tak pernah kekurangan.” (Atharwa Veda XII.1.45).  “Berkumpullah, berbicara dan bersatu dalam pikiran, seperti para dewa dahulu bersatu dalam persembahan (Rg. Veda X.191.2). Mantram ini menjelaskan pentingnya persatuan dan kesatuan untuk menghindarkan manusia dari kondisi pribadinya yang dapat menimbulkan perpecahan. Dalam mantram tersebut dijelaskan bahwa kita lahir dari keberagaman etnik, bahasa, adat-istiadat dan agama, yang justru dapat dijadikan alat untuk saling bahu-membahu dan bersinergi.  Seperti kata pepatah “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh,” maka bersatulah agar kejayaan bisa diraih.

      Keempat, Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. “Bermufakatlah dan bersatulah agar engkau dapat mengatasi kesulitan dalam hidupmu, berbahagialah dalam persatuan itu,” (Atharwa Veda VI.64.I). Jadi musyawarah sangat diperlukan dalam memecahkan masalah di segala aspek kehidupan yang lebih mengedepankan azas kekeluargaan dan gotong royong.  Dalam melaksanakan Dharma Agama, umat Hindu mengembangkan doktrin Dharma Siddhyarta (Veda Smrti VII.10) yaitu lima aspek yang menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan, sehingga setiap keputusan akan dapat diterima secara umum oleh semua pihak, serta tidak menimbulkan kerawanan social. Kelimanya meliputi, Iksa (hakikat tujuan suatu kegiatan), Shakti (kesadaran dan kemampuan), Desa (tempat yang mendukung kegiatan), Kala (waktu) dan Tatwa (keyakinan dalam melakukan kegiatan).

      Kelima, Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. “Hendaknya tanpa jemu-jemu melakukan persembahan, bersedekah dengan penuh rasa bakti akan mengantarkannya pada tujuan yang tertinggi,” (Veda Smerti VI.226).  Dari mantram tersebut dapat dipahami bahwa demi keadilan social, setiap orang wajib melakukan yajna terutama kepada sesama manusia, dengan mengembangkan solidaritas sejagat (lokasamgraha), memajukan SDM, menjauhkan diri dari praktek korupsi, kolusi, terorisme dll.  Sehingga kemiskinan dan kesenjangan antara si kaya antara si miskin yang semakin melebar dapat ditekan.

      Dalam hal kepemerintahan, Weda juga mengajarkan kedudukan seorang pemimpin yang salah satunya terdapat dalam Kitab Yajur Veda IX.40, “Pemimpin dinobatkan untuk perlindungan penuh terhadap warga negaranya dan untuk mencapai kedaulatan bangsa itu.”  Terkait dengan kepemimpinan, Bisma menyampaikan kepada Yudistira  untuk melakukan Dharma Negara yang hendaknya dipahami yaitu, Dharma Karya (melakukan kerja dengan baik dan benar), Dharma Tatwa (memahami esensi hukum yang hakiki), Dharma Dharsana (pengetahuan filsafat tentang hukum), Dharma Yudha (memperjuangkan kejujuran dan keadilan), Dharma Sabda (sidang untuk menegakan keadilan), Dharma Yajna (mempersembahkan kerja sebagai sebuah yajna secara ikhlas) dan Dharma Wijaya (menangnya keadilan dan kebajikan).

      Nilai Dharma Negara di atas perlu dimiliki seorang pemimpin ibarat matahari yang menyinari Bumi, menghilangkan semua gelapnya  dunia dan hendaknya tetap dikelola sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak setengah-setengah.  Artinya, bila Dharma adalah hukum maka Negara adalah badannya, bila Negara adalah badan maka Dharma adalah jiwanya.  Antara jiwa dan badan tidak dapat dipisahkan apabila menginginkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera.

      Dari kutipan mantram-mantram Weda diatas jelas bahwa dalam agama Hindu selalu diajarkan untuk hidup rukun, damai, toleran dan solidaritas yang didasarkan pada kasih sayang.  Bila dikaji secara mendalam hakikat dan tujuan agama Hindu dengan tujuan pembangunan nasional  adalah selaras, sama dan sesuai yaitu sama-sama ingin mewujudkan keseimbangan dalam lahir maupun batin.

      Dari paparan diatas dapat disimpulkan : Tat Tvam Asi merupakan landasan etik dan moral, baik sebagi individu maupun mahkluk sosial yang dijewantahkan kedalam Dharma Agama (memaknai ajaran suci Weda) dan Dharma Negara ( memaknai ajaran agama dan mendukung penerapan Pancasila secara utuh).  Berpedoman pada falsafah itu umat Hindu dituntut untuk  mampu menyelenggarakan kehidupan Santi (damai) dalam persahabatan dan kesadaran bahwa kehidupan ini bersumber pada yang tunggal yaitu Tuhan.  Maka, aktualisasi ajaran agama bagi umat Hindu harus sesuai kitab suci yang benar, bulat dan utuh sehingga pengabdian sebagai warga Negara dalam NKRI telah merevitalisasi ajaran Weda. Oleh sebab itu, sosialisasi diperlukan secara kontinyu agar keanekaragaman itu dapat terkelola dengan baik dan melahirkan keindahan dan keharmonisan serta kedamaian. 
   
Sarveṣaṁ svasti bhavatu,  Sarveṣaṁ śāntir bhavatu,
Sarveṣaṁ purnaṁ bhavatu, Sarveṣaṁ maògalaṁ bhavatu.
Sarve bhavantu sukhinaḥ, Sarve śāntu niramayaḥ
Sarve bhadrāṇi paśyantu, Ma kaschid duhkha bhag bhavet

(Semoga kerahayuan berlimpah untuk semua, semoga semuanya memperoleh kedamaian semogalah semua cita-cita mulia tercapai semoga semuanya memperoleh kesejahteraan. Semoga semuanya memperoleh kebahagiaan semoga semuanya bebas dari segala halangan,  semoga semuanya memperoleh keberuntungan, semoga tidak seorangpun menderita).

Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ

PUSTAKA SUCI
Rg Veda Samhita, diterjemahkan kedalam bahasa imggris oleh Svami Satya Prakash Sarasvati dan Satyakam Vidyalangkar, Weda Prastishtana, New Delhi, 1977.
The Principal Upanisad, Brahmasutra dan Kitab suci lainnya diterjemahkan ke dalam
            Bahasa inggris dan diberi komentar oleh S. Radhakrishnam, Harpercolin Publisher             India, 1994.
KAMUS
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia al-Munawir (Yogyakarta: Balai Pustaka Progresif, t.th.), 1098.
MEDIA SOSIAL
Radar lampung, Amuk Massa, Status Siaga Diperpanjang, Rabu 14 Januari 2014.
BUKU
Bagus,I Gusti Ngurah : Kehadiran Agama Hindu di Indonesia, dan Peranannya 1993 Dalam Pembangunan Nasional, Makalah pada 100 Tahun Parlemen Agama-Agama sedunia, dan Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia,Yogyakarta,11-12 Okt. 1993.
Griffith, R.T.H. 2005. Sāma Veda Samhitā (diterjemahkan oleh Dewanto). Surabaya: Paramita
Raka Mas, Drs.AA.G. tuntunan tatasusila untuk meraih hidup bahagia, Paramita, 2003.
Wiana, I Ketut , Memelihara tradisi Weda, PT,BP, 2002
Magnis Suseno, Franz. Pembangunan Indonesia dan Hak-hak asasi manusia Universal, majalah prisma no 11.
Sukarno, Camkan Pancasila, Deppen R.I.Jakarta, 1966.
Titib, I Made, Ni Ketut Saparani, 2004 : Keutamaan Manusia dan Pendidikan Budhi Pekerti,  Paramita, Surabaya.
Titib, I Made. 1999. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.



No comments:

Post a Comment