Kerukunan
Hidup Beragama
Sebagai
Aplikasi Dharma Agama dan Dharma Negara
Oleh : Dewa Putu Antara
Gambar diambil : http://palembang.tribunnews.com/2018/05/25/ramadhan-dan-kerukunan-umat
Om Swastyastu,
Kerukunan hidup beragama adalah kondisi hidup dan kehidupan yang
mencerminkan suasana damai, tertib, tentram dan sejahtera, saling menghormati
dan menghargai sesama pemeluk agama, baik sebagai individu, maupun sebagai
warga masyarakat yang berbudi pekerti luhur; yang kesemuanya ini merupakan
cerminan pengamalan ajaran agama dan Pancasila.
Kerukunan yang dimaksud terdiri dari tiga tahap kerukunan, yaitu intern
umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan
pemerintah.
Dengan mengacu kepada konsep Dharma Agama sebagai landasan, maka khusus
bagi umat Hindu wajib memberikan kontribusi untuk mensukseskan pembangunan
nasional, dengan menjadi warga Negara yang taat kepada aturan-aturan yang
dibuat oleh pemerintah yang mewakili Negara. Dengan demikian, maka sebagai
warga Negara yang beragama Hindu, berarti telah melaksanakan Dharma Negara. Dan
sesungguhnya di negeri ini, Dharma Agama dan Dharma Negara sudah dirumuskan
dengan cerdas dan teraplikasi dalam sebuah kerukunan hidup inter dan antar umat
beragama dan dengan pemerintah. Rumusan yang merupakan kristalisasi dari
ajaran-ajaran yang termaktub dalam Kitab Suci Weda, yang juga merupakan pedoman
hidup bangsa serta merupakan salah satu dari empat pilar bangsa, yaitu
Pancasila.
Indonesia adalah sebuah bangsa yang heterogen dan memiliki kehidupan dengan
kompleksitas yang tinggi, baik dalam khazanah hidup individu dan sosial maupun perbedaan
budaya yang menuntut diwujudkannya keserasian, keselarasan dan keseimbangan
dalam sinergi, baik suku, agama, ras dan antar golongan. Hal ini telah disadari oleh masyarakat bangsa
ini, sejak ditabuh Gong Gentanya Pura Kencana Majapahit oleh seorang Rakawi Mpu
Tantular, menyuratkan pikirannya ke dalam kitab Sutasoma yang berbunyi “Bhineka Tunggal Ika, tan hana dharma
mangrawa,” yang artinya, “Meskipun itu berbeda, tetapi hakikatnya satu tidak ada kebenaran yang ganda.” Bahkan
jauh sebelum itu, di Bali Mpu Kuturan telah juga menyatakan, “bina ika tunggal
ika,” dalam mempersatukan sekte-sekte di Bali pada jamannya, di Pura Samuan
Tiga.
Secara internal, umat Hindu diwajibkan untuk mempraktikkan Dharma Agama
dengan benar sesuai sastra suci Weda. Para
penganut Hindu diharapkan berjalan beriringan, serasi, seimbang dengan umat
agama lain dengan toleransi yang sungguh-sungguh, dan melaksanakan Dharma
Negara serta tidak pernah mempertentangkan antara pelaksanaan Dharma Agama dan
Dharma Negara. Dengan demikian, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan ber
Negara, akan berkembang semangat nasional untuk mendorong terwujudnya kerukunan.
Bagi umat Hindu, kerukunan merupakan sesuatu yang bersifat mutlak dalam
kehidupan ini. Seperti yang secara tegas dinyatakan dalam Kitab Chandogya
Upanisad VI.8.7 “Tat Tvam Asi,” yang
berarti Itu adalah Engkau, Dia adalah Kamu, Kamu adalah Aku. Kamu dan Aku disini yang dimaksud adalah
atman. Yang sama disini adalah atman. Sama-sama atman. Sloka ini mengandung
makna yang sangat dalam, artinya setiap manusia adalah saudara dari manusia
lainnya, bahwa semua mahkluk adalah ciptaan-Nya.
Secara eksternal, ajaran Weda memperkuat aktualisasi Dharma Negara yang
telah memberikan warna tersendiri dalam pembangunan nasional khususnya dalam
pembangunan umat beragama. Hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan
yang dijunjung tinggi masyarakat.
Berikut ini dikutipkan mantram-mantam Weda yang menjadi spirit dalam
membangun manusia seutuhnya dengan kerukunan hidup beragama sebagai aplikasi
dari Dharma Agama yang beriringan dengan Dharma Negara. Ini terlihat secara
terstruktur dalam salah satu pilar Bangsa sebagai ideologi dan pedoman hidup
bangsa, yaitu Pancasila.
Pertama, Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. “Tuhan Yang Maha Esa para arif bijaksana menyebut-Nya dengan banyak
gelar,”(Rg. Veda I.164.46). “Tuhan
adalah satu-satunya tujuan yang harus disembah,” (Rg. Veda VIII.50.9). Mantram ini menjelaskan bahwa agama Hindu tidak
mempunyai kesulitan teologis didalam menerima derajat-derajat kebenaran di dalam
agama lain. Sebagaimana umat Hindu
sendiri memuja Ganesa, dan dipandang benar oleh yang memuja Visnu ataupun Siva, orang lain yang menyembah Jesus dan Allah dll
juga tidak dipermasalahkan. Dalam praktik, agama menjadi rambu-rambu yang mengingatkan kita pada
perbuatan benar atau salah, tidak gampang terpesona dalam memperoleh kekuasaan
yang salah, punya sensitivitas pada ketidakadilan. Intinya, agama bisa
memberikan tuntunan hidup yang bermakna sekaligus kedamaian bagi penganutnya.
Kedua, Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. “Hendaknya semua
mahkluk melihat kami, hendaknya kami melihat semua mahkluk, hendaknya kami
mengenal semua mahkluk sebagai saudara dan sahabat,” (Yajur Veda
XXXVI.18). “ Ketahuilah ini semua
sebagai mahkluk Tuhan, bebaslah dan berbahagialah, jangan menginginkan milik
orang lain, lakukanlah karma (perbuatan suci) itu disini juga,” (Yajur Veda
XI.1.2). Mantram ini dapat dipahami, bahwa toleransi, saling harga menghargai,
menghormati hak asasi manusia, tanpa kekerasan, (ahimsa) perlu fokus pada hidup
sosial, maka diperlukan hati yang damai sebagai kunci pertama perdamaian
dunia. Jika hati setiap orang itu damai,
tidak ada rasa benci dan dendam, sebaliknya ada tenggang rasa, maka perilaku
sosialnya juga damai. Di era globalisasi
ini bentuk pengamalan Dharma dapat berarti mengembangkan kasih sayang dan
memajukan persaudaraan (kemanusiaan yang sejati) untuk memeperkokoh persatuan
dan kesatuan antar bangsa-bangsa (vasudhaiva kutumbakam).
Ketiga, Sila Persatuan Indonesia. “Semoga Bumi yang memberi tempat
kepada penduduk yang berbicara berbeda-beda bahasa, adat-istiadat, agama
menurut tempat tinggalnya akan memperkaya kami dengan pahala berlipat ganda,
laksana lembu yang menyusui anaknya dengan tak pernah kekurangan.” (Atharwa
Veda XII.1.45). “Berkumpullah, berbicara
dan bersatu dalam pikiran, seperti para dewa dahulu bersatu dalam persembahan
(Rg. Veda X.191.2). Mantram ini menjelaskan pentingnya persatuan dan kesatuan untuk
menghindarkan manusia dari kondisi pribadinya yang dapat menimbulkan perpecahan.
Dalam mantram tersebut dijelaskan bahwa kita lahir dari keberagaman etnik,
bahasa, adat-istiadat dan agama, yang justru dapat dijadikan alat untuk saling
bahu-membahu dan bersinergi. Seperti
kata pepatah “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh,” maka bersatulah agar
kejayaan bisa diraih.
Keempat, Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. “Bermufakatlah dan bersatulah agar engkau dapat
mengatasi kesulitan dalam hidupmu, berbahagialah dalam persatuan itu,” (Atharwa
Veda VI.64.I). Jadi musyawarah sangat diperlukan dalam memecahkan masalah di segala
aspek kehidupan yang lebih mengedepankan azas kekeluargaan dan gotong
royong. Dalam melaksanakan Dharma Agama,
umat Hindu mengembangkan doktrin Dharma
Siddhyarta (Veda Smrti VII.10) yaitu lima aspek yang menjadi pertimbangan
dalam mengambil keputusan, sehingga setiap keputusan akan dapat diterima secara
umum oleh semua pihak, serta tidak menimbulkan kerawanan social. Kelimanya
meliputi, Iksa (hakikat tujuan suatu
kegiatan), Shakti (kesadaran dan
kemampuan), Desa (tempat yang
mendukung kegiatan), Kala (waktu) dan
Tatwa (keyakinan dalam melakukan
kegiatan).
Kelima, Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. “Hendaknya
tanpa jemu-jemu melakukan persembahan, bersedekah dengan penuh rasa bakti akan
mengantarkannya pada tujuan yang tertinggi,” (Veda Smerti VI.226). Dari mantram tersebut dapat dipahami bahwa
demi keadilan social, setiap orang wajib melakukan yajna terutama kepada sesama
manusia, dengan mengembangkan solidaritas sejagat (lokasamgraha), memajukan SDM,
menjauhkan diri dari praktek korupsi, kolusi, terorisme dll. Sehingga kemiskinan dan kesenjangan antara si
kaya antara si miskin yang semakin melebar dapat ditekan.
Dalam hal kepemerintahan,
Weda juga mengajarkan kedudukan seorang pemimpin yang salah satunya terdapat
dalam Kitab Yajur Veda IX.40, “Pemimpin dinobatkan untuk perlindungan penuh
terhadap warga negaranya dan untuk mencapai kedaulatan bangsa itu.” Terkait dengan kepemimpinan, Bisma
menyampaikan kepada Yudistira untuk
melakukan Dharma Negara yang hendaknya dipahami yaitu, Dharma Karya (melakukan
kerja dengan baik dan benar), Dharma Tatwa (memahami esensi hukum yang hakiki),
Dharma Dharsana (pengetahuan filsafat tentang hukum), Dharma Yudha
(memperjuangkan kejujuran dan keadilan), Dharma Sabda (sidang untuk menegakan
keadilan), Dharma Yajna (mempersembahkan kerja sebagai sebuah yajna secara
ikhlas) dan Dharma Wijaya (menangnya keadilan dan kebajikan).
Nilai Dharma Negara di atas
perlu dimiliki seorang pemimpin ibarat matahari yang menyinari Bumi,
menghilangkan semua gelapnya dunia dan
hendaknya tetap dikelola sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak
setengah-setengah. Artinya, bila Dharma
adalah hukum maka Negara adalah badannya, bila Negara adalah badan maka Dharma
adalah jiwanya. Antara jiwa dan badan
tidak dapat dipisahkan apabila menginginkan kehidupan yang bahagia dan
sejahtera.
Dari kutipan
mantram-mantram Weda diatas jelas bahwa dalam agama Hindu selalu diajarkan
untuk hidup rukun, damai, toleran dan solidaritas yang didasarkan pada kasih
sayang. Bila dikaji secara mendalam
hakikat dan tujuan agama Hindu dengan tujuan pembangunan nasional adalah selaras, sama dan sesuai yaitu
sama-sama ingin mewujudkan keseimbangan dalam lahir maupun batin.
Dari paparan diatas dapat
disimpulkan : Tat Tvam Asi merupakan landasan etik dan moral, baik sebagi
individu maupun mahkluk sosial yang dijewantahkan kedalam Dharma Agama
(memaknai ajaran suci Weda) dan Dharma Negara ( memaknai ajaran agama dan
mendukung penerapan Pancasila secara utuh).
Berpedoman pada falsafah itu umat Hindu dituntut untuk mampu menyelenggarakan kehidupan Santi (damai)
dalam persahabatan dan kesadaran bahwa kehidupan ini bersumber pada yang
tunggal yaitu Tuhan. Maka, aktualisasi
ajaran agama bagi umat Hindu harus sesuai kitab suci yang benar, bulat dan utuh
sehingga pengabdian sebagai warga Negara dalam NKRI telah merevitalisasi ajaran
Weda. Oleh sebab itu, sosialisasi diperlukan secara kontinyu agar keanekaragaman itu dapat terkelola dengan baik dan
melahirkan keindahan dan keharmonisan serta kedamaian.
Sarveṣaṁ svasti bhavatu, Sarveṣaṁ śāntir bhavatu,
Sarveṣaṁ purnaṁ bhavatu, Sarveṣaṁ maògalaṁ bhavatu.
Sarve bhavantu sukhinaḥ, Sarve śāntu niramayaḥ
Sarve bhadrāṇi paśyantu, Ma kaschid duhkha bhag bhavet
(Semoga kerahayuan berlimpah untuk semua, semoga semuanya memperoleh
kedamaian semogalah semua cita-cita mulia tercapai semoga semuanya memperoleh
kesejahteraan. Semoga semuanya memperoleh kebahagiaan semoga semuanya bebas
dari segala halangan, semoga semuanya memperoleh keberuntungan, semoga
tidak seorangpun menderita).
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ
PUSTAKA SUCI
Rg Veda Samhita, diterjemahkan kedalam bahasa imggris oleh Svami
Satya Prakash Sarasvati dan Satyakam Vidyalangkar, Weda Prastishtana, New
Delhi, 1977.
The Principal Upanisad, Brahmasutra dan Kitab suci lainnya
diterjemahkan ke dalam
Bahasa inggris dan
diberi komentar oleh S. Radhakrishnam, Harpercolin Publisher India, 1994.
KAMUS
Ahmad
Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia al-Munawir (Yogyakarta: Balai
Pustaka Progresif, t.th.), 1098.
MEDIA SOSIAL
Radar
lampung, Amuk Massa, Status Siaga Diperpanjang, Rabu 14 Januari 2014.
BUKU
Bagus,I Gusti Ngurah : Kehadiran Agama Hindu di
Indonesia, dan Peranannya 1993 Dalam Pembangunan Nasional, Makalah pada 100
Tahun Parlemen Agama-Agama sedunia, dan Kongres Nasional I Agama-Agama di
Indonesia,Yogyakarta,11-12 Okt. 1993.
Griffith, R.T.H. 2005. Sāma
Veda Samhitā (diterjemahkan oleh Dewanto). Surabaya: Paramita
Raka
Mas, Drs.AA.G. tuntunan tatasusila untuk
meraih hidup bahagia, Paramita, 2003.
Wiana,
I Ketut , Memelihara tradisi Weda,
PT,BP, 2002
Magnis Suseno, Franz. Pembangunan Indonesia dan Hak-hak asasi manusia Universal, majalah
prisma no 11.
Sukarno,
Camkan Pancasila, Deppen R.I.Jakarta,
1966.
Titib, I Made, Ni Ketut Saparani, 2004 : Keutamaan Manusia dan Pendidikan Budhi
Pekerti, Paramita, Surabaya.
Titib, I Made. 1999. Veda Sabda Suci
Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
No comments:
Post a Comment